Selasa, 03 Januari 2012

Hukum-Hukum Pernikahan


Hukum Akad Nikah Melalui Media Elektronik

Prosesi ijab kabul, masih kontroversial. Hampir semua imam fikih berpendapat ijab kabul harus satu majelis. Namun ulama kontemporer, dengan menimbang persoalan ekonomi, baru-baru ini memperbolehkan perkawinan jarak jauh. Tentang perkawinan jarak jauh, menyangkut persoalan akad atau kontrak. Kontrak itu harus jelas, siapa yang melakukan akad, saksi dan walinya siapa. Apalagi perkawinan merupakan kontrak jangka panjang.  Ada yang berpendapat, bahwa momen perkawinan adalah penting, sehingga kedua mempelai harus hadir. Bukan persoalan sah dan tidak sah. Tapi secara moral, orang menikah itu harus hadir secara fisik. Karena ada kedekatan psikologis antara calon pengantin. Dan ada juga yang berpendapat, bahwa ijab kabul sama dengan akad sehingga, kalau terpenuhi prinsip-prinsip kepastian, perkawinan bisa dilakukan jarak jauh.
Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan buku laporan pelatihan hakim Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian satu majelis tidak harus duduk dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul melalui telepon dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan banyak orang.  Adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang pernah melakukan perkawinan jarak jauh. Ia saat itu menempuh studi di Mesir dan saat ijab kabul mewakilkan dirinya kepada orang lain lewat surat kuasa. Saat itu, Gus Dur sebagai mempelai pria diwakili kakeknya dari garis ibu, KH Bisri Syansuri. Dan ini membuktikan bahwa di Indonesia putusan pengadilan mengesahkan perkawinan lewat telepon.  Rifyal yang menyabet gelar master dari Department of Social Sciences, Kairo, Mesir menganalogikan ijab dan kabul perkawinan dengan perdagangan yang menurut Islam juga harus dilakukan dalam satu majelis. “Tapi sekarang jual beli ekspor impor ’kan tidak begitu. Buyer (pembeli, red)-nya di Amerika Serikat, kita di sini. Dan itu di seluruh negara Islam dipandang sah-sah saja,” contoh Rifyal. Perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989.
  1. Nihayatul Muhtaj, Juz 11, hal. 285 (dalam maktabah syamilah)
  2. Al-Majmu’, Juz 9, hal. 288.
  3. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, Juz 11, hal. 476.
  4. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khatib, Juz 2, hal. 403.
  5. I’anahtuth Thalibin, Juz 3, hal. 9. Dll.

Hukum Pernikahan Dibawah Tangan (Nikah Siri)

Nikah siri dalam persepsi yang tersebar di masyarakat terdapat beberapa gambaran:
  1. Pernikahan laki-laki dan wanita dibawah tangan, yaitu tanpa adanya pencatatan resmi di lembaga resmi yang menangani pernikahan.
  2. Pernikahan yang diadakan tanpa adanya wali pihak wanita.
Kaitannya dengan pernikahan siri, dalam penafsiran yang kedua, yaitu pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh kedua belah pihak, tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan tersebut batal dan tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan dari kutipan jawaban sebelumnya bahwa syarat pernikahan diantaranya adanya, wali bagi pihak wanita. Diantara dalilnya yang paling tegas, adalah hadits Aisyah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wanita siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil –tiga kali-. Dan jika dia telah menggauli wanita tersebut, maka diharuskan untuk menyerahkan mahar atas kemaluan wanita yang telah dihalalkannya, dan jikalu mereka saling bersilang sengketa maka sultan aadalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan oleh al-Albani didalam al-Irwa`.
Dan juga hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau besabda, “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan selain mereka. Al-Bukhari at-Tirmidzi menshahihkan riwayat hadits ini secara maushul/bersambung-. Demikian juga al-Albani menshahihkannya didalam al-Irwa` dengan beberapa riwayat penguat.
Ibnul-Mundzir menyebutkan tidak adanya perbedaan pendapat dikalangan sahabat dalam masalah itu.
Wali bagi wanita adalah kerabat al-‘ashabah (kerabat dari nasab laki-laki) yang terdekat dari sisi nasab, kemudian dari sisi sebab kemudian ashabah mereka selanjutnya. Adapun dari kerabat ibu tidak berhak sebagai wali wanita. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Jika si wanita menikah dengan menjadikan kakaknya sebagai wali, pernikahan tersebut sah adanya jika orang tua pihak mengabaikan/melepaskan hak perwaliannya atau menyerahkannya hak perwaliannya kepada kakak si wanita. Namun jika si wanita menikah dengan wali kakaknya atau saudaranya yang lain, tanpa penyerahan hak perwalian dari bapaknya yang masih hidup, wallahu a’lam bish-shawab, pernikahan tersebut tidaklah sah. Pendapat ini sebagaimana yang difatwakan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh didalam al-Fatawa wa ar-Rasaail 10/113.
Sementara pernikahan di bawah tangan/siri, dalam penafsiran yang pertama, jika syarat-syaratnya terpenuhi pernikahan tersebut sah. Hanya saja, apabila pemerintahan muslim yang bersangkutan mengharuskan adanya pencatatan resmi pada lembaga yang ditunjuk, haruslah untuk mematuhinya. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan mudharat bagi kedua pasangan yang menikah, juga untuk memastikan hak-hak suami maupun istri baik secara hukum syara` dan agar berada dibawah perlindungan pemerintah yang bersangkutan.

Hukum Pernikahan Kawin Hamil

Adapun perempuan hamil karena zina, kami melihat perlu dirinci lebih meluas karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi diseputarnya. Maka dengan mengharap curahan taufiq dan hidayah dari Allah Al-’Alim Al-Khabir, masalah ini kami uraikan sebagai berikut :
Perempuan yang telah melakukan zina menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya terdapat persilangan pendapat dikalangan para ‘ulama.
Secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para ‘ulama :
Satu : Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq dan Abu ‘Ubaid.
Dua : Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’iy dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/109 :
Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Inilah yang benar tanpa keraguan”. Tarjih diatas berdasarkan firman Allah ‘Azza Wa Jalla :
Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin”.
(QS. An-Nur:3).
Ayat dan hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun hukum haram tersebut bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”. (Dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah 2/83 dari seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ‘ulama yang mengatakan bahwa kalimat ‘nikah’ dalam ayat An-Nur ini bermakna jima’ atau yang mengatakan ayat ini mansukh (terhapus hukumnya) ini adalah pendapat yang jauh dan pendapat ini (yaitu yang mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Dan pendapat yang mengatakan haram nikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat, ini pula yang dikuatkan Asy-Syinqithy dalam Adwa Al-Bayan 6/71-84 dan lihat Zadul Ma’ad 5/114-115. Dan lihat permasalahan di atas dalam : Al-Ifshoh 8/81-84, Al-Mughny 9/562-563 (cet. Dar ‘Alamil Kutub), dan Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah 2/582-585.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar